Wednesday, June 20, 2012
Saturday, January 2, 2010
LAPORAN KUNJUNGAN DELEGASI PANJA RUU LAMBANG PALANG MERAH KE JENEWA, SWISS 3 – 7 AGUSTUS 2008
I. INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS (ICRC) dan INTERNATIONAL FEDERATION OF THE RED CROSS AND THE RED CRESCENT (IFRCRC).
A. ICRC
International Committee of The Red Cross (ICRC) yang diprakarsai oleh Hendry Dunant dibentuk pada tahun 1863, pada awalnya berupa International Committee For The Relief of Military Wounded dan kemudian menjadi ICRC pada Konferensi Pertama tahun 1867.
ICRC merupakan organisasi internasional kemanusiaan yang bersifat impartial, netral dan independen dengan misi utama untuk memberikan perlindungan jiwa dan kehormatan serta bantuan kepada para korban perang dan tindak kekerasan internal. ICRC juga berkewajiban memajukan dan memperkuat penghormatan terhadap hukum dan prinsip-prinsip umum kemanusiaan internasional (international humanitarian law).
ICRC sangat erat dengan implementasi International Humanitarian Law mengingat bahwa inti dari International Humanitarian Law adalah Geneva Conventions of 1949 yang merupakan Konvensi Dasar dari ICRC dan dikenal pula dengan Conventions of the Red Cross. Geneva Conventions of 1949 berisi 4 Konvensi yaitu : 1st Convention mengenai Wounded Soldiers on the Battlefield, 2nd Convention mengenai Wounded and Shipwrecked at Sea, 3rd Convention mengenai Prisoners of War, dan 4th Convention mengenai Civilians under Enemy Control.
Selain itu, ditambah pula dengan 3 Additional Protocols yaitu : 1st Protocol mengenai International Conflicts dan 2nd Protocol mengenai Non-International Conflicts yang ditambahkan pada tahun 1977, serta 3rd Protocol mengenai Additional Distinctive Emblem yang ditambahkan pada tahun 2005.
Struktur organisasi ICRC terdiri dari Assembly sebagai Governing Body tertinggi, Assembly Council sebagai subsidiary body dari Assembly, serta Directorate sebagai executive body. Assembly dan Assembly Council diketuai oleh Presiden ICRC. Presiden ICRC saat ini adalah Jacob Kellenberger, Ph.D. yang dijabat sejak tahun 2000.
Kantor Perwakilan ICRC dibuka di Indonesia pada tahun 1979 dan saat ini diperkuat oleh sekitar 130 staf termasuk 30 staf asing. Sejak tahun 1979, ICRC telah berperan dalam membantu Pemerintah Indonesia dan bekerjasama erat dengan Palang Merah Indonesia dalam melakukan perlindungan dan membantu korban tindak kekerasan, khususnya dalam perlindungan jiwa dan kontak antar keluarga. ICRC juga melakukan kunjungan kepada tahanan-tahanan yang berkaitan dengan konflik bersenjata atau tindak kekerasan dalam rangka memastikan penghormatan terhadap international humanitarian law.
Selain itu, ICRC juga memberikan bantuan program pelatihan kepada TNI dan Polri serta program kegiatan di Universitas-universitas mengenai international humanitarian law. Peran ICRC di Indonesia semakin meningkat dalam kaitan dengan konflik di Aceh serta memberikan bantuan yang signifikan pada penanganan korban Tsunamidi Aceh dan Nias.
B. IFRC
Dalam kaitan dengan ICRC, perlu dilihat pula secara sejajar mengenai International Federation of the Red cross and the Red Crescent Societies (IFRC). IFRC dewasa ini menjadi organisasi kemanusiaan internasional terbesar yang menyediakan bantuan tanpa diskriminasi kebangsaan, ras, agama, kepercayaan, kelas atau pandangan politik. IFRC dibentuk pada tahun 1919 dan mewadahi 183 anggota Palang Merah dan Bulan Sabit (di sebagian besar Negara Islam) di seluruh dunia.
Misi dari IFRC pada dasarnya sama dengan ICRC yaitu untuk meningkatkan harapan hidup dari vulnerable people (korban bencana alam, miskin karena krisis sosial dan ekonomi, pengungsi, darurat kesehatan) dengan mobilisasi bantuan kemanusiaan.
Struktur organisasi IFRC terdiri dari Assembly, Governing Board, dan Commission. Governing Board dipimpin oleh Presiden IFRC yang saat ini dijabat oleh Juan Manuel Suarez del Toro Rivero.
Selanjutnya ICRC bersama IFRC dan 183 National Societies (Palang Merah dan Bulan Sabit) di seluruh dunia membentuk International Red Cross and Red Crescent Movement.
Setiap 4 tahun sekali diselenggarakan International Conference ICRC yang sejak tahun 1986 menjadi International Conference of the Red Cross and the Red Crescent.
II. ISU EMBLEM
Salah satu isu menarik yang dibahas pada 29th International Conference of the Red Cross and Red Crescent (20-21 Juni 2006) dan 30th International Conference of the Red Cross and Red Crescent (26-30 November 2007) adalah tindak lanjut dan implementasi dari 3rd Protocol mengenai Additional Distinctive Emblem yang telah diputuskan pada Diplomatic Conference tanggal 5-7 Desember 2005 di Jenewa.
3rd Additional Distinctive Emblem berupa Red Crystal adalah emblem tambahan sebagai solusi dari perdebatan lama mengenai penggunaan emblem dalam melaksanakan aktivitas kemanusiaan di seluruh dunia. Geneva Conventions of 1949 telah mengakui 3 emblem yaitu : Red Cross, Red Crescent dan Red Lion and Sun (catatan : sejak 1980 Red Lion and Sun praktis tidak ada yang menggunakan).
Berdasarkan Geneva Conventions of 1949 dan ketentuan International Movement, suatu National Society harus menggunakan salah satu dari emblem untuk diakui sebagai bagian dari International Movement.
Untuk mengatasi masalah seperti yang terjadi di Israel yang ingin mempertahankan penggunaan emblem Magen David Adom (MDA) termasuk di wilayah pendudukan atau Eritrea yang ingin menggunakan kedua emblem, diciptakan emblem tambahan berupa red crystal. National Society dapat memilih Red Cross, Red Crescent atau Red Crystal atau dapat menggunakan emblem Red Crystal yang didalamnya berisi gambar Red Cross dan Red Crescent.
III. PERTEMUAN DENGAN INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS (ICRC) dan INTERNATIONAL FEDERATION OF THE RED CROSS AND THE RED CRESCENT (IFRCRC).
1. Pada tanggal 4 Agustus 2008, Tim Panitia Kerja (Panja) RUU Lambang Palang Merah Komisi III DPR RI yang diketuai oleh DR. Azis Syamsuddin telah melakukan pertemuan dan dialog dengan para Pejabat International Committee of the Red Cross (ICRC) di Jenewa. Kunjungan dan pertemuan tersebut dilakukan dalam rangka memperoleh masukan mengenai sejarah, mandat, dan ketentuan mengenai penggunaan lambang Palang Merah bagi penyusunan Undang-Undang mengenai Lambang Palang Merah di Indonesia.
2. Delegasi Komisi III telah diterima oleh Direktur Hukum International ICRC, Mr. Philip Spoerri, dan Wakil Direktur Asia Pasifik, Mr. Danielle Pesnech, beserta jajarannya. Pertemuan juga dihadiri oleh wakil dari International Federation of the Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC), Mr. Christopher Lamb.
3. Dalam pertemuan tersebut, Legal Adviser ICRC, Mr. Baptiste Role, telah menyampaikan paparan mengenai lambang palang merah yang pokok-pokoknya sebagai berikut :
• Tentang Lambang Palang Merah, Bulan Sabit Merah dan Kristal Merah.
1) mempunyai status yang sama.
2) Harus menerima perlindungan yang sama.
3) Hanya satu dari lambang-lambang yang boleh memperkenalkan pelayanan medis dari suatu tentara nasional.
4) Negara masing-masing harus menjamin perlindungan lambang dalam hukumnya.
• Tugas dan mandat yang diemban oleh ICRC hingga saat ini dilakukan berdasarkan Konvensi Jenewa 1949. ICRC kemudian telah berkembang semakin universal dengan berbagai dinamika dalam aktivitasnya termasuk dalam penggunaan lambangnya.
• Berdasarkan sejarahnya, organisasi palang merah pernah memiliki 3 lambang yang diakui yaitu Palang Merah, Bulan Sabit Merah dan Singa-Matahari Merah (yang dipakai Iran dan dihentikan pemakaiannya pada tahun 1983).
• Pada Konperensi Jenewa yang membahas Additional Protocol III (AP III) Geneva Convention 1949, tanggal 8 Desember 2005, disepakati untuk menambah lambang ke tiga yakni “Kristal Merah”, yang tujuannya adalah untuk memberikan fleksibilitas bagi negara yang tidak menggunakan palang merah ataupun bulan sabit merah bagi organisasi ini di negara mereka, yang terlepas dari konotasi agama, budaya maupun politik.
• Negara-negara anggota diberikan fleksibilitas untuk memilih penggunaan lambang yang akan dipakai, sesuai dengan kepentingan masing-masing, namun tetap berdasarkan prinsip/ketentuan “one country, one society and one emblem”.
• Persoalan khusus mengenai dua badan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah di dalam satu Negara.
Akan terjadi masalah dikarenakan selain melanggar peraturan-peraturan yang mengatur penggunaan lambang juga melanggar prinsip pokok Kesatuan. Oleh karena itu pemerintahan menjamin untuk tidak melegalisasikan keadaan dua perhimpunan, baik ” Palang Merah ” maupun ” Bulan Sabit Merah ” hanya satu Perhimpunan Nasional di dalam satu negara.
Dalam konsultasi dengan Perhimpunan Nasional yang diakui, mengambil langkah-langkah yang cocok untuk mengatur persoalan tersebut.
• Persoalan khusus lainnya mengenai Pelayanan Medis dari Tentara Nasional dan Perhimpunan Nasional boleh menggunakan lambang yang sama, sebagai berikut:
1) Terhadap Lambang (Palang Merah, Bulan sabit Merah atau Kristal Merah) memperkenalkan pelayanan medis dari Tentara Nasional.
2) Penggunaan ” Perlambang dua ” oleh satu negara tidak boleh.
3) Perhimpunan nasional membantu pada negara dalam rangka hal-hal humaniter (khusus para pelayanan medis dari Tentara Nasional).
4) Negara memberi kuasa kepada Perhimpunan Nasional untuk menggunakan lambang yang sama dengan pelayanan medis dari Tentara Nasional.
3. Pada sesi tanya jawab, para anggota Delegasi Komisi III DPR RI mengajukan pertanyaan yang pada pokoknya antara lain terkait dengan kemungkinan penggunaan emblem Palang Merah dan Bulan Sabit Merah secara bersamaan, ataupun penggunaan emblem Kristal Merah sebagai alternatifnya di Indonesia. Terkait hal ini ICRC menegaskan bahwa di satu negara terdapat hanya satu organisasi (national society) dengan menggunakan satu lambang yang disepakati (Palang Merah, Bulan Sabit Merah, atau Kristal Merah). Terkait hal ini, maka setiap negara tidak diperkenankan memiliki dua organisasi dengan dua lambang yang berbeda sebagai national society. Untuk itu, legislasi nasional perlu mengaturnya secara jelas. Khusus mengenai Kristal Merah, Indonesia tidak bisa menggunakan emblem Kristal Merah, karena Indonesia belum meratifikasi Additional Protocol III.
4. Pihak ICRC telah secara lugas dan rinci memaparkan isu penggunaan lambang Palang Merah, Bulan Sabit Merah, dan Kristal Merah dalam organisasi ini. ICRC menyarankan pula, sekiranya diperlukan, pihak Kantor Perwakilan ICRC di Jakarta bersedia menyampaikan paparan dan berdiskusi lebih lanjut mengenai RUU Lambang Palang Merah di Indonesia sekembalinya Delegasi ke Jakarta.
5. ICRC menyambut positif kunjungan Delegasi DPR RI mengingat kunjungan tersebut sangat penting dalam rangka memenuhi kewajiban negara sesuai Konvensi Jenewa 1949 untuk mengatur dan melindungi penggunaan emblem. ICRC juga menjelaskan bahwa Delegasi DPR RI ini merupakan delegasi parlemen pertama yang secara langsung berkunjung dan berdialog ke kantor pusat ICRC.
6. Dari pertemuan dengan ICRC tersebut di atas, kiranya dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
• Berdasarkan Konvensi Jenewa 1949, setiap negara pihak memiliki kewajiban untuk menyusun legislasi nasional yang bertujuan untuk mengatur penggunaan emblem dan mencegah penyalahgunaan serta menghukum penyalahgunaan emblem tersebut baik di masa damai maupun konflik bersenjata.
• Pemerintah masing-masing negara berkewajiban untuk menginformasikan kepada publik, kalangan bisnis, dan masyarakat medis, mengenai penggunaan emblem tersebut secara layak.
• Di satu negara terdapat hanya satu organisasi (national society) dengan menggunakan satu lambang yang disepakati (Palang Merah, Bulan Sabit Merah, atau Kristal Merah).
• Tiap negara tidak diperkenankan memiliki dua organisasi (national society) dengan dua lambang yang berbeda. Dalam hal ini, maka legislasi nasional perlu mengaturnya secara jelas.
• Indonesia belum bisa menggunakan emblem Kristal Merah, karena belum meratifikasi Additional Protocol III.
7. Mengenai lambang Kristal Merah, kiranya dapat disampaikan sebagai catatan bahwa pada Diplomatic Conference di Jenewa tanggal 8 Desember 2005 mengenai AP III yang di dalamnya terdapat usulan lambang baru berupa Kristal Merah, Indonesia bersama dengan negara-negara OKI menolak AP III tersebut.
8. Penolakan Indonesia dan OKI disebabkan karena usulan lambang Kristal Merah dilatarbelakangi oleh keinginan Barat agar Magen David Adom (organisasi kepalangmerahan Israel) diakui sebagai anggota Movement (ICRC dan IFRC) sehingga dapat melakukan operasi di wilayah pendudukan Israel.
9. Pada saat ini kiranya sulit bagi Indonesia untuk menjadi pihak dari AP III (Kristal Merah) karena hal tersebut akan berarti bahwa Indonesia mengakui keberadaan Magen David Adom dan implikasinya antara lain adalah tidak dapat menolak bantuan kemanusiaan internasional dari Magen David Adom kepada Indonesia.
10. Kiranya dapat dilaporkan pula bahwa pada tanggal 5 Agustus 2008, Delegasi DPR RI juga telah melakukan Pertemuan dan Ramah Tamah dengan Pimpinan dan Staf PTRI Jenewa serta masyarakat Indonesia di Jenewa, bertempat di PTRI Jenewa. Dalam kesempatan tersebut, Delegasi DPR RI telah berkesempatan pula menyampaikan paparan dan sosialisasi mengenai beberapa undang-undang, sebagai berikut :
1) Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dan perkembangannya dewasa ini.
2) Undang-Undang tentang Kewarganegaraan dan ;
3) Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
11. Terlampir kami sampaikan model Undang-Undang Nasional (National Legislation on the Use and Protection of the Emblem of the Red Cross or Red Crescent) yang disediakan oleh ICRC untuk menjadi contoh penyusunan undang-undang nasional mengenai lambang Palang Merah.
VI. PENUTUP.
Demikian laporan ini dibuat untuk dapat dipergunakan lebih lanjut bagi Komisi III DPR RI dalam menjalankan tugasnya kedepan.
Jakarta, Agustus 2008
PIMPINAN KOMISI III DPR RI,
KETUA DELEGASI,
Dr.AZIZ SYAMSUDDIN
A. ICRC
International Committee of The Red Cross (ICRC) yang diprakarsai oleh Hendry Dunant dibentuk pada tahun 1863, pada awalnya berupa International Committee For The Relief of Military Wounded dan kemudian menjadi ICRC pada Konferensi Pertama tahun 1867.
ICRC merupakan organisasi internasional kemanusiaan yang bersifat impartial, netral dan independen dengan misi utama untuk memberikan perlindungan jiwa dan kehormatan serta bantuan kepada para korban perang dan tindak kekerasan internal. ICRC juga berkewajiban memajukan dan memperkuat penghormatan terhadap hukum dan prinsip-prinsip umum kemanusiaan internasional (international humanitarian law).
ICRC sangat erat dengan implementasi International Humanitarian Law mengingat bahwa inti dari International Humanitarian Law adalah Geneva Conventions of 1949 yang merupakan Konvensi Dasar dari ICRC dan dikenal pula dengan Conventions of the Red Cross. Geneva Conventions of 1949 berisi 4 Konvensi yaitu : 1st Convention mengenai Wounded Soldiers on the Battlefield, 2nd Convention mengenai Wounded and Shipwrecked at Sea, 3rd Convention mengenai Prisoners of War, dan 4th Convention mengenai Civilians under Enemy Control.
Selain itu, ditambah pula dengan 3 Additional Protocols yaitu : 1st Protocol mengenai International Conflicts dan 2nd Protocol mengenai Non-International Conflicts yang ditambahkan pada tahun 1977, serta 3rd Protocol mengenai Additional Distinctive Emblem yang ditambahkan pada tahun 2005.
Struktur organisasi ICRC terdiri dari Assembly sebagai Governing Body tertinggi, Assembly Council sebagai subsidiary body dari Assembly, serta Directorate sebagai executive body. Assembly dan Assembly Council diketuai oleh Presiden ICRC. Presiden ICRC saat ini adalah Jacob Kellenberger, Ph.D. yang dijabat sejak tahun 2000.
Kantor Perwakilan ICRC dibuka di Indonesia pada tahun 1979 dan saat ini diperkuat oleh sekitar 130 staf termasuk 30 staf asing. Sejak tahun 1979, ICRC telah berperan dalam membantu Pemerintah Indonesia dan bekerjasama erat dengan Palang Merah Indonesia dalam melakukan perlindungan dan membantu korban tindak kekerasan, khususnya dalam perlindungan jiwa dan kontak antar keluarga. ICRC juga melakukan kunjungan kepada tahanan-tahanan yang berkaitan dengan konflik bersenjata atau tindak kekerasan dalam rangka memastikan penghormatan terhadap international humanitarian law.
Selain itu, ICRC juga memberikan bantuan program pelatihan kepada TNI dan Polri serta program kegiatan di Universitas-universitas mengenai international humanitarian law. Peran ICRC di Indonesia semakin meningkat dalam kaitan dengan konflik di Aceh serta memberikan bantuan yang signifikan pada penanganan korban Tsunamidi Aceh dan Nias.
B. IFRC
Dalam kaitan dengan ICRC, perlu dilihat pula secara sejajar mengenai International Federation of the Red cross and the Red Crescent Societies (IFRC). IFRC dewasa ini menjadi organisasi kemanusiaan internasional terbesar yang menyediakan bantuan tanpa diskriminasi kebangsaan, ras, agama, kepercayaan, kelas atau pandangan politik. IFRC dibentuk pada tahun 1919 dan mewadahi 183 anggota Palang Merah dan Bulan Sabit (di sebagian besar Negara Islam) di seluruh dunia.
Misi dari IFRC pada dasarnya sama dengan ICRC yaitu untuk meningkatkan harapan hidup dari vulnerable people (korban bencana alam, miskin karena krisis sosial dan ekonomi, pengungsi, darurat kesehatan) dengan mobilisasi bantuan kemanusiaan.
Struktur organisasi IFRC terdiri dari Assembly, Governing Board, dan Commission. Governing Board dipimpin oleh Presiden IFRC yang saat ini dijabat oleh Juan Manuel Suarez del Toro Rivero.
Selanjutnya ICRC bersama IFRC dan 183 National Societies (Palang Merah dan Bulan Sabit) di seluruh dunia membentuk International Red Cross and Red Crescent Movement.
Setiap 4 tahun sekali diselenggarakan International Conference ICRC yang sejak tahun 1986 menjadi International Conference of the Red Cross and the Red Crescent.
II. ISU EMBLEM
Salah satu isu menarik yang dibahas pada 29th International Conference of the Red Cross and Red Crescent (20-21 Juni 2006) dan 30th International Conference of the Red Cross and Red Crescent (26-30 November 2007) adalah tindak lanjut dan implementasi dari 3rd Protocol mengenai Additional Distinctive Emblem yang telah diputuskan pada Diplomatic Conference tanggal 5-7 Desember 2005 di Jenewa.
3rd Additional Distinctive Emblem berupa Red Crystal adalah emblem tambahan sebagai solusi dari perdebatan lama mengenai penggunaan emblem dalam melaksanakan aktivitas kemanusiaan di seluruh dunia. Geneva Conventions of 1949 telah mengakui 3 emblem yaitu : Red Cross, Red Crescent dan Red Lion and Sun (catatan : sejak 1980 Red Lion and Sun praktis tidak ada yang menggunakan).
Berdasarkan Geneva Conventions of 1949 dan ketentuan International Movement, suatu National Society harus menggunakan salah satu dari emblem untuk diakui sebagai bagian dari International Movement.
Untuk mengatasi masalah seperti yang terjadi di Israel yang ingin mempertahankan penggunaan emblem Magen David Adom (MDA) termasuk di wilayah pendudukan atau Eritrea yang ingin menggunakan kedua emblem, diciptakan emblem tambahan berupa red crystal. National Society dapat memilih Red Cross, Red Crescent atau Red Crystal atau dapat menggunakan emblem Red Crystal yang didalamnya berisi gambar Red Cross dan Red Crescent.
III. PERTEMUAN DENGAN INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS (ICRC) dan INTERNATIONAL FEDERATION OF THE RED CROSS AND THE RED CRESCENT (IFRCRC).
1. Pada tanggal 4 Agustus 2008, Tim Panitia Kerja (Panja) RUU Lambang Palang Merah Komisi III DPR RI yang diketuai oleh DR. Azis Syamsuddin telah melakukan pertemuan dan dialog dengan para Pejabat International Committee of the Red Cross (ICRC) di Jenewa. Kunjungan dan pertemuan tersebut dilakukan dalam rangka memperoleh masukan mengenai sejarah, mandat, dan ketentuan mengenai penggunaan lambang Palang Merah bagi penyusunan Undang-Undang mengenai Lambang Palang Merah di Indonesia.
2. Delegasi Komisi III telah diterima oleh Direktur Hukum International ICRC, Mr. Philip Spoerri, dan Wakil Direktur Asia Pasifik, Mr. Danielle Pesnech, beserta jajarannya. Pertemuan juga dihadiri oleh wakil dari International Federation of the Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC), Mr. Christopher Lamb.
3. Dalam pertemuan tersebut, Legal Adviser ICRC, Mr. Baptiste Role, telah menyampaikan paparan mengenai lambang palang merah yang pokok-pokoknya sebagai berikut :
• Tentang Lambang Palang Merah, Bulan Sabit Merah dan Kristal Merah.
1) mempunyai status yang sama.
2) Harus menerima perlindungan yang sama.
3) Hanya satu dari lambang-lambang yang boleh memperkenalkan pelayanan medis dari suatu tentara nasional.
4) Negara masing-masing harus menjamin perlindungan lambang dalam hukumnya.
• Tugas dan mandat yang diemban oleh ICRC hingga saat ini dilakukan berdasarkan Konvensi Jenewa 1949. ICRC kemudian telah berkembang semakin universal dengan berbagai dinamika dalam aktivitasnya termasuk dalam penggunaan lambangnya.
• Berdasarkan sejarahnya, organisasi palang merah pernah memiliki 3 lambang yang diakui yaitu Palang Merah, Bulan Sabit Merah dan Singa-Matahari Merah (yang dipakai Iran dan dihentikan pemakaiannya pada tahun 1983).
• Pada Konperensi Jenewa yang membahas Additional Protocol III (AP III) Geneva Convention 1949, tanggal 8 Desember 2005, disepakati untuk menambah lambang ke tiga yakni “Kristal Merah”, yang tujuannya adalah untuk memberikan fleksibilitas bagi negara yang tidak menggunakan palang merah ataupun bulan sabit merah bagi organisasi ini di negara mereka, yang terlepas dari konotasi agama, budaya maupun politik.
• Negara-negara anggota diberikan fleksibilitas untuk memilih penggunaan lambang yang akan dipakai, sesuai dengan kepentingan masing-masing, namun tetap berdasarkan prinsip/ketentuan “one country, one society and one emblem”.
• Persoalan khusus mengenai dua badan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah di dalam satu Negara.
Akan terjadi masalah dikarenakan selain melanggar peraturan-peraturan yang mengatur penggunaan lambang juga melanggar prinsip pokok Kesatuan. Oleh karena itu pemerintahan menjamin untuk tidak melegalisasikan keadaan dua perhimpunan, baik ” Palang Merah ” maupun ” Bulan Sabit Merah ” hanya satu Perhimpunan Nasional di dalam satu negara.
Dalam konsultasi dengan Perhimpunan Nasional yang diakui, mengambil langkah-langkah yang cocok untuk mengatur persoalan tersebut.
• Persoalan khusus lainnya mengenai Pelayanan Medis dari Tentara Nasional dan Perhimpunan Nasional boleh menggunakan lambang yang sama, sebagai berikut:
1) Terhadap Lambang (Palang Merah, Bulan sabit Merah atau Kristal Merah) memperkenalkan pelayanan medis dari Tentara Nasional.
2) Penggunaan ” Perlambang dua ” oleh satu negara tidak boleh.
3) Perhimpunan nasional membantu pada negara dalam rangka hal-hal humaniter (khusus para pelayanan medis dari Tentara Nasional).
4) Negara memberi kuasa kepada Perhimpunan Nasional untuk menggunakan lambang yang sama dengan pelayanan medis dari Tentara Nasional.
3. Pada sesi tanya jawab, para anggota Delegasi Komisi III DPR RI mengajukan pertanyaan yang pada pokoknya antara lain terkait dengan kemungkinan penggunaan emblem Palang Merah dan Bulan Sabit Merah secara bersamaan, ataupun penggunaan emblem Kristal Merah sebagai alternatifnya di Indonesia. Terkait hal ini ICRC menegaskan bahwa di satu negara terdapat hanya satu organisasi (national society) dengan menggunakan satu lambang yang disepakati (Palang Merah, Bulan Sabit Merah, atau Kristal Merah). Terkait hal ini, maka setiap negara tidak diperkenankan memiliki dua organisasi dengan dua lambang yang berbeda sebagai national society. Untuk itu, legislasi nasional perlu mengaturnya secara jelas. Khusus mengenai Kristal Merah, Indonesia tidak bisa menggunakan emblem Kristal Merah, karena Indonesia belum meratifikasi Additional Protocol III.
4. Pihak ICRC telah secara lugas dan rinci memaparkan isu penggunaan lambang Palang Merah, Bulan Sabit Merah, dan Kristal Merah dalam organisasi ini. ICRC menyarankan pula, sekiranya diperlukan, pihak Kantor Perwakilan ICRC di Jakarta bersedia menyampaikan paparan dan berdiskusi lebih lanjut mengenai RUU Lambang Palang Merah di Indonesia sekembalinya Delegasi ke Jakarta.
5. ICRC menyambut positif kunjungan Delegasi DPR RI mengingat kunjungan tersebut sangat penting dalam rangka memenuhi kewajiban negara sesuai Konvensi Jenewa 1949 untuk mengatur dan melindungi penggunaan emblem. ICRC juga menjelaskan bahwa Delegasi DPR RI ini merupakan delegasi parlemen pertama yang secara langsung berkunjung dan berdialog ke kantor pusat ICRC.
6. Dari pertemuan dengan ICRC tersebut di atas, kiranya dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
• Berdasarkan Konvensi Jenewa 1949, setiap negara pihak memiliki kewajiban untuk menyusun legislasi nasional yang bertujuan untuk mengatur penggunaan emblem dan mencegah penyalahgunaan serta menghukum penyalahgunaan emblem tersebut baik di masa damai maupun konflik bersenjata.
• Pemerintah masing-masing negara berkewajiban untuk menginformasikan kepada publik, kalangan bisnis, dan masyarakat medis, mengenai penggunaan emblem tersebut secara layak.
• Di satu negara terdapat hanya satu organisasi (national society) dengan menggunakan satu lambang yang disepakati (Palang Merah, Bulan Sabit Merah, atau Kristal Merah).
• Tiap negara tidak diperkenankan memiliki dua organisasi (national society) dengan dua lambang yang berbeda. Dalam hal ini, maka legislasi nasional perlu mengaturnya secara jelas.
• Indonesia belum bisa menggunakan emblem Kristal Merah, karena belum meratifikasi Additional Protocol III.
7. Mengenai lambang Kristal Merah, kiranya dapat disampaikan sebagai catatan bahwa pada Diplomatic Conference di Jenewa tanggal 8 Desember 2005 mengenai AP III yang di dalamnya terdapat usulan lambang baru berupa Kristal Merah, Indonesia bersama dengan negara-negara OKI menolak AP III tersebut.
8. Penolakan Indonesia dan OKI disebabkan karena usulan lambang Kristal Merah dilatarbelakangi oleh keinginan Barat agar Magen David Adom (organisasi kepalangmerahan Israel) diakui sebagai anggota Movement (ICRC dan IFRC) sehingga dapat melakukan operasi di wilayah pendudukan Israel.
9. Pada saat ini kiranya sulit bagi Indonesia untuk menjadi pihak dari AP III (Kristal Merah) karena hal tersebut akan berarti bahwa Indonesia mengakui keberadaan Magen David Adom dan implikasinya antara lain adalah tidak dapat menolak bantuan kemanusiaan internasional dari Magen David Adom kepada Indonesia.
10. Kiranya dapat dilaporkan pula bahwa pada tanggal 5 Agustus 2008, Delegasi DPR RI juga telah melakukan Pertemuan dan Ramah Tamah dengan Pimpinan dan Staf PTRI Jenewa serta masyarakat Indonesia di Jenewa, bertempat di PTRI Jenewa. Dalam kesempatan tersebut, Delegasi DPR RI telah berkesempatan pula menyampaikan paparan dan sosialisasi mengenai beberapa undang-undang, sebagai berikut :
1) Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dan perkembangannya dewasa ini.
2) Undang-Undang tentang Kewarganegaraan dan ;
3) Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
11. Terlampir kami sampaikan model Undang-Undang Nasional (National Legislation on the Use and Protection of the Emblem of the Red Cross or Red Crescent) yang disediakan oleh ICRC untuk menjadi contoh penyusunan undang-undang nasional mengenai lambang Palang Merah.
VI. PENUTUP.
Demikian laporan ini dibuat untuk dapat dipergunakan lebih lanjut bagi Komisi III DPR RI dalam menjalankan tugasnya kedepan.
Jakarta, Agustus 2008
PIMPINAN KOMISI III DPR RI,
KETUA DELEGASI,
Dr.AZIZ SYAMSUDDIN
Wednesday, July 22, 2009
Subscribe to:
Posts (Atom)